JAKARTA - Industri garmen dan tekstil berada pada titik penting untuk memperkuat fondasi produksinya.
Tantangan terbesar bukan hanya soal persaingan harga atau masuknya pakaian bekas impor, tetapi tentang kerumitan regulasi yang menghambat kelancaran pasokan bahan baku. Di tengah dinamika tersebut, pelaku industri menilai penyederhanaan aturan menjadi kebutuhan mendesak agar sektor ini mampu bangkit dan bersaing di pasar global.
Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, menyampaikan bahwa Indonesia sejatinya memiliki kapasitas besar untuk memenuhi kebutuhan tekstil dalam negeri sekaligus menembus pasar ekspor. Namun, berbagai hambatan struktural dan persyaratan internasional masih membatasi potensi industri nasional.
Baca JugaStrategi Infrastruktur 2027 Kementerian PU: Target dan Investasi
Regulasi yang Tumpang Tindih Menghambat Kelancaran Pasokan
Pernyataan ini disampaikan Anne setelah AGTI melakukan audiensi dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada awal pekan ini.
Dalam pertemuan tersebut, ia menilai pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk mempermudah proses importasi bahan baku bagi industri tekstil, terutama bagi sektor yang belum bisa dipenuhi oleh pemasok domestik.
Anne menekankan bahwa koordinasi lintas kementerian perlu diperkuat. Banyaknya aturan yang tumpang tindih kerap memperlambat masuknya bahan baku, sementara industri membutuhkan ketepatan waktu dalam produksi.
“Kalau regulasinya di-simplify, daya saing akan naik. Pemerintah punya kemauan untuk mendukung, tinggal penyelarasan kebijakannya,” kata Anne dalam keterangan tertulis, Jumat.
Ia menambahkan bahwa impor masih diperlukan untuk jenis bahan baku tertentu yang belum diproduksi di dalam negeri atau belum memenuhi standar mutu global.
Keterbatasan kemampuan product development di sejumlah pabrik lokal membuat beberapa merek internasional masih mengandalkan bahan impor agar spesifikasi teknis dan keberlanjutan terpenuhi.
“Product development kita masih kurang. Itu sebabnya beberapa brand internasional lebih memilih bahan impor,” imbuhnya.
Standar Lingkungan dan ESG Masih Jadi Tantangan Besar
Anne juga menjelaskan bahwa industri lokal sebenarnya memiliki kemampuan untuk memproduksi bahan baku. Namun pemenuhannya tidak merata karena banyak pabrik belum sanggup memenuhi standar Environmental, Social and Governance (ESG).
Persyaratan ESG mencakup aspek lingkungan, perizinan, penggunaan energi ramah lingkungan, hingga kepatuhan pada upah minimum. Keterbatasan infrastruktur dan fasilitas membuat sejumlah pabrik belum memenuhi keseluruhan syarat tersebut.
“Kalau standar lingkungan, izin, upah minimum, sampai energi non-pool terpenuhi, produk lokal sebenarnya bisa diterima brand internasional,” papar Anne.
Dalam praktiknya, bahan kain untuk pesanan merek global masih banyak yang diimpor. Ini disebabkan kemampuan lokal yang belum konsisten dalam menghasilkan kain berkualitas sesuai standar internasional, terutama untuk performance fabric dan sustainable textile.
“Kita bisa kompetitif, tapi produksinya belum cukup banyak dan belum cukup cepat,” ujar Anne.
Kapasitas Ada, tetapi Spesifikasi Teknis Belum Terpenuhi
Meski begitu, Anne menegaskan bahwa kapasitas industri tekstil Indonesia tetap besar. Kebutuhan untuk produk busana muslim dan kerudung sebagian besar sudah dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri.
Namun untuk jenis kain tertentu yang membutuhkan teknologi finishing khusus atau handfeel spesifik, impor tetap diperlukan. Tidak semua pabrik memiliki fasilitas yang mendukung proses produksi dengan spesifikasi teknis setara permintaan merek global.
“Secara kapasitas bisa, tapi spesifikasi tertentu masih harus impor,” jelasnya.
Kesenjangan antara kapasitas dan spesifikasi inilah yang membuat impor masih memegang peran penting dalam kelancaran rantai pasok industri tekstil nasional.
Penguatan Industri Lokal Dapat Tekan Tren Thrifting
Anne meyakini bahwa penguatan industri lokal dan ketersediaan bahan baku yang stabil akan berpengaruh signifikan terhadap menurunnya minat terhadap pakaian bekas impor (thrifting). Produk baru berkualitas yang tersedia secara luas akan memberi alternatif lebih baik bagi masyarakat.
Namun ia menegaskan bahwa pengurangan thrifting tidak hanya ditentukan oleh peningkatan produksi lokal. Dibutuhkan penegakan regulasi yang lebih kuat serta perubahan perilaku pasar.
“Kalau daya saing naik, supply lokal kuat, otomatis thrifting akan berkurang. Tapi tetap butuh kepastian regulasi,” tutupnya.
Aldi
indikatorbisnis.com adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Harbolnas 2025 Jadi Momentum Utama Belanja Online di Tengah Gempuran Promo Tahunan
- Jumat, 05 Desember 2025
Penguatan Proteksi dan Branding Nasional Jadi Kunci Kebangkitan Industri Mebel Indonesia
- Jumat, 05 Desember 2025
Kenaikan Harga Pangan Strategis Nasional Picu Kekhawatiran Belanja Rumah Tangga Harian
- Jumat, 05 Desember 2025
Terpopuler
1.
Harga EV Bekas Kian Turun, Pasar Mobil Listrik Makin Ramai
- 06 Desember 2025
2.
Deretan Mobil Listrik Terlaris yang Capai Satu Juta Unit
- 06 Desember 2025
3.
IKM Baru Perkuat Rantai Pasok Otomotif Nasional
- 06 Desember 2025
4.
BMKG : Cuaca Jakarta Didominasi Hujan Ringan Sepanjang Akhir Pekan
- 06 Desember 2025
5.
BMKG Peringatkan Gelombang Tinggi Hingga Empat Meter
- 06 Desember 2025













